BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam sebuah cerpen teradapat hal-hal menarik yang dapat di
analisis dan diidentifikasi. Hal tersebut berkenaan dengan realitas sosial yang
ada di masyarakat. Ini membuktikan bahwa cerpen mempresentasikan kehidupan
masyarakat.
Upaya memahami cerpen dapat dilakukan dengan menganalisis
unsur-unsur dalamnya (intrinsik). Berdasarkan pernyataan tersebut saya
menysusun sebuah karya tulis yang berjudul “ ANALISIS UNSUR UNTRINSIK CERPEN
PENYESALAN MARNI KARYA HUMAM C. CHUDORI.
B.
Identifkasi Masalah
Cerpen merupakan salah satu bentuk karya sastra yang
brebentuk prosa (cerita) yang dibangun oleh unsur-unsur pembangun didalamnya,
salah satunya unsur intrinsik yang meliputi: tema, alur (plot), tokoh dan
penokohan, latar belakang (setting), sudut pandang, amanat dan gaya bahasa.
C.
Batasan Masalah
Unsur intrinsik yang terdapat dalam sebuah cerpen sangat luas
ruang lingkupnya, karena itu saya hanya akan menganalisis dua unsur intrinsik
pada cerpen “ Penyesalan Marni “ karya Humam S. Chudori
Meliputi : Tokoh dan penokohan, amanat
D.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah penokohan pada
tokoh utama cerpen “Penyesalan Marni “ karya Humam S. Chudori?
2.
Bagaiamana amanat yang
terkandung dalam cerpen “Penyesalan Marni “ karya Humam S. Chudori?
E.
Tujuan Pembahasan
Tujuan Pembahasan yaitu
mendeskripsikan:
1.
Tokoh dan penokohan dalam
cerpen “ Penyesalan Marni “ karya Humam S. Chudori.
2.
Amanat yang terkandung
dalam cerpen “ Penyesalan Marni “ karya Humam S. Chudori.
F.
Kajian Masalah
Menurut Nurgianto (2005;165) tokoh adalah pelaku cerita
sedangkan penokohan adalah cara pengarang dalam menggambarkan Tokoh cerita.
Menurut Uti Darmawati Wijaya, Ratna Dewi, dan Budi
Artati (20010;8) Amanat adalah pesan dalam cerita yang di sampaikan pada
pembaca.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tokoh dan Penokohan
cerpen “ Penyesalan Marni “ karya Humam S. Chudori.
Cerpen yang
berjudul “ Penyesalan Marni “ karya Humam S. Chudori di dalamnya di dukung oleh
beberapa tokoh, tokoh utama dalam cerpen tersebut adalah Marni, berikut ini
dalah tokoh dan penokohannya.
Tokoh
|
Penokohan
|
Bukti Pendukung
|
Marni
|
Pemarah
|
“ jadi orang itu jangan penyakitan”,
kata Marni tatkala suaminya pulang dari Rumah Sakit, setelah kesekian kalinya
ia dirawat.
|
Sombong
|
Ketika masih bekerja, Marni acap kali
berakata kepada Rita -- tetangga depan Rumahnya – kalau dirinya tidak
bekerja, kebutuhan rumah tangganya pasti tak akan pernah bisa tercukupi.
|
|
Suka merendahkan orang
|
Marni masih merasa lebih hebat dari para
tetangganya yang tidak bekerja. Ia memang sering melecehkan wanita yang hanya
menjadi ibu rumah tangga.
|
B.
Amanat
Amanat
adalah pesan yang terkandung dalam sebuah cerita amanat dalam cerpen “
Penyesalan Marni “ karya Humam S. Chudori adalah:
Amanat
|
Bukti Pendukung
|
Janganlah menjadi seseorang yang suka
merendahkan orang lain.
|
Ia memang sering melecehkan wanita yang hanya menjadi ibu
rumah tangga. Itu sebabnya tak ada tetangga yang mau dekat dengan Marni.
|
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahw:
1.
Tokoh Utama pada cerpen “
Penyesalan Marni “ karya Humam S. Chudori adalah Marni dengan Penokohan yang:
Pemarah, Sombong, dan suka merendahkan orang lain.
2.
Amanat cerpen “ Penyesalan
Marni “ karya Humam S. Chudori adalah: janganlah menjadi seseorang yang suka
merendahkan orang lain.
B.
Kritik dan Saran
Analisis unsur
intrinsik cerpen “ Penyesalan Marni “ karya Humam S. Chudori ini mempunyai
banyak sekali kekurangan, karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca sekalian, demi kesempurnaan analisis ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Chudori, S. Humam. 2008. Aktif dan kreatif
berbahasa indonesia. Jakarta Pusat: Perbukuan Departemen Pendidikan
Nasional.
Nurgianto. 2005. Teori
Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada Universty Press.
Darmawati, Uti
dkk. 2008. Detik – detik ujian Nasional Bahasa Indonesia. Klaten: PT.
Macanan Jaya Cemerlang
Penyesalan Marni
Cerpen: Humam S. Chudori
Sejak di-pehaka,
Himawan sering sekali dirawat di rumah sakit. Penyakit asma yang dideritanya
sering kambuh. Padahal, sebelum kena pehaka, ia jarang dirawat di rumah sakit kendati
tiap bulan mesti mengunjungi dokter. Tragisnya, setelah empat kali dirawat di
rumah sakit, Marni mengalami nasib serupa dengan suaminya -- kena pehaka. Sejak
itu neraca keuangan keluarga Himawan mulai goncang.
"Jadi orang itu
jangan penyakitan," kata Marni, tatkala suaminya pulang dari rumah sakit,
setelah kesekian kalinya ia dirawat. Himawan diam. Betapa tidak, baru dua
langkah pasangan suami-istri itu masuk ke dalam rumah, Marni sudah melontarkan
kalimat ketus. "Kalau sudah begini, apalagi yang harus dijual?" kata
Marni lagi.
Himawan tak menyahut.
Hatinya terasa sakit mendengar kalimat yang dilontarkan istrinya. Rasanya ia
ingin mendaratkan tamparan ke muka perempuan itu jika tidak ingat tubuhnya
sendiri masih lemah.
Sebetulnya ia ingin
langsung ke kamar, tiduran. Namun, setelah mendengar kata-kata istrinya itu
tubuhnya langsung lemas. Gemetar. Limbung. Matanya seperti berkunang-kunang.
Kepalanya terasa nyut-nyutan. Ia kehilangan tenaga untuk melangkah ke kamar.
Karena itu, ia langsung duduk di atas tikar. Di ruang tamu.
Rumah itu memang
sudah lama tak punya kursi tamu lagi, sudah mereka dijual. Sebelumnya beberapa
perabotan rumah lain -- televisi, kulkas, dan bupet -- juga sudah mereka jual.
Sejak tak ada meja
kursi tamu, di ruangan yang tidak terlalu luas itu hanya ada selembar tikar
plastik yang tak pernah digulung.
Watak asli Marni baru
disadari Himawan setelah anak pertama mereka lahir. Semula sifat buruk istrinya
dianggap Himawan sebagai bawaan jabang bayi, lantaran istrinya nyaris tidak
mengalami kekosongan. Setelah dua bulan dinikahi Himawan. Sikap dan kelakuan
Marni mulai berubah.
Ketika pertama kali
berhenti haid, Himawan menganggap kelakuan perempuan itu berubah karena
mengalami fase ngidam. Himawan menyadari orang yang sedang ngidam -- seperti
yang sering didengarnya dari orang lain -- emosinya labil. Itulah sebabnya
lelaki itu berusaha untuk tidak tersinggung. Dia sendiri sangat berharap
secepatnya mempunyai keturunan, lantaran terlambat menikah.
Bukan sekali dua kali
Himawan mendengar cerita tentang kelakuan orang ngidam yang berubah nyleneh.
Menjadi manja, gampang cemberut, bahkan serba ingin menang sendiri. Meski pada
umumnya orang ngidam cuma ingin makan yang serba pedas atau masam. Kebiasaan
orang ngidam seringkali menjadi aneh, kolokan, bahkan tidak jarang membuat
suaminya kesal.
Ketika Erna -- adik
Himawan -- ngidam bukan hanya sekali menyuruh suaminya membelikan bakso di
tengah malam. Widodo pun mengabulkan permintaan Erna. Ia terpaksa mencari
makanan yang diminta 'jabang bayi'.
Namun, alangkah
kesalnya lelaki itu setelah sampai di rumah. Erna hanya mencoba sesendok
kuahnya. Dan, makanan yang diperoleh dengan susah payah itu tidak disentuh sama
sekali. Celakanya jika permintaan Erna tidak dituruti, ia akan marah-marah
kepada suaminya. Meskipun demikian, Widodo tak berani menolak permintaan 'sang
jabang bayi'.
Memang tidak sedikit
orang ngidam yang tidak berubah kelakuannya. Tidak ada perubahan perilaku atau
kebiasaan, kecuali menjadi sering muntah karena perutnya terasa mual.
Andaikata tak pernah memikirkan masa depan anak, barangkali, Himawan sudah menceraikan istrinya. Ia sudah merasakan sendiri betapa tidak enaknya menjadi korban perceraian orangtua. Lantaran ia dan dua orang adiknya memang produk rumahtangga yang berantakan alias broken home.
Andaikata tak pernah memikirkan masa depan anak, barangkali, Himawan sudah menceraikan istrinya. Ia sudah merasakan sendiri betapa tidak enaknya menjadi korban perceraian orangtua. Lantaran ia dan dua orang adiknya memang produk rumahtangga yang berantakan alias broken home.
Ketika masih bekerja,
Marni acapkali berkata kepada Rita -- tetangga depan rumahnya -- kalau dirinya
tidak bekerja, kebutuhan rumah tangganya pasti takkan pernah bisa tercukupi.
"Berapa sih gaji
seorang sopir seperti suami saya?" kata Marni, tatkala mereka belum
di-pehaka, mengeluh kepada Rita usai menceritakan penghasilannya.
"Sama saja,
Mbak," kata Rita jika tetangga depan rumahnya sudah berkata demikian,
"Suami saya juga sopir." "Kalau suami Dik Rita lain. Biar sopir
tapi sopir kedutaan besar. Pasti gajinya besar. Karena itu, kamu tidak perlu
bekerja lagi seperti saya."
Apabila Marni sudah
mulai membicarakan penghasilan suaminya, Rita berusaha mengalihkan topik
pembicaraan. Waktu itu mereka -- baik Himawan maupun Marni -- masih aktif
bekerja. Mereka masih punya penghasilan. Namun, setelah di-pehaka Marni tak
berani lagi membicarakan gajinya. Ia tak pernah membanggakan penghasilannya.
Walaupun demikian,
toh ternyata Marni masih merasa lebih hebat dari para tetangganya yang tidak
bekerja. Ia memang sering melecehkan wanita yang hanya menjadi ibu rumah
tangga. Itu sebabnya tak ada tetangga yang mau dekat dengan Marni, kecuali
Rita.
Sejak di-pehaka,
Marni tidak pernah melamar kerja lagi. Karena, ia sudah tak mungkin bekerja
lagi. Pertama, karena usianya sudah di atas kepala empat. Kedua, pendidikannya
pas-pasan. Hanya berijazah slta dan tidak punya ijazah lain. Ijazah dari kursus
ketrampilan, misalnya. Dan, ketiga, pengalaman kerjanya tidak bisa digunakan
sebagai referensi mencari pekerjaan lain. Sebab pekerjaannya hanya sebagai
pemandu penonton bioskop. Ya, tugas Marni di tempat kerjanya hanyalah mengantar
penonton ke kursi sesuai dengan nomor karcisnya. Sementara itu, sudah banyak
bioskop yang tidak mampu bertahan. Menghentikan usahanya. Tidak beroperasi.
Gulung tikar.
Untungnya, Hendy,
ayah Himawan, meninggalkan warisan kepada anak-anknya, termasuk Himawan. Sebuah
rumah yang kini dikontrakkan. Dari hasil kontrakan itulah keluarga Himawan
berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari selama belum mendapatkan pekerjaan
lagi, meski tidak cukup juga.
"Kalau sudah
begini apalagi yang masih bisa dijual, Mas?" Marni mengulang pertanyaan
sebelumnya, setelah lama Himawan tak melontarkan sepatah kata pun.
Himawan masih duduk
mematung. Mengatur napasnya yang tak teratur. "Orang ditanya istri kok
diam saja."
"Rumah warisan
bapak masih ada," kata Himawan, pelan. Nyaris tak terdengar. Setelah ia
berhasil menepis rasa galau yang memenuhi benaknya.
"Sudah gila
kamu, Mas?"
"Tadi kamu tanya
barang apalagi yang masih bisa dijual. Rumah peninggalan bapak masih laku
dijual. Kalau laku dijual masih cukup untuk biaya hidup kita. Paling tidak
dalam waktu beberapa tahun ke depan," jawab Himawan lemah. "Jika
nanti kurang ya rumah ini yang kita jual." Marni diam.
"Kalau bukan rumah itu apalagi, coba pikir? Jual perabotan? Perabotan apa yang masih bisa di jual? Tikar atau bantal? Atau jual tenaga? Nyatanya kita juga sudah tidak bisa bekerja? Bukankah ini artinya tenaga kita juga sudah tak laku?" kali ini Himawan sudah tidak kuasa untuk menahan kekesalannya. Suaranya gemetar.
"Mas!" "Atau
kamu mau jual diri? Jual diri kamu juga sudah tidak laku. Kamu su... sudah
tua...." Himawan tak mampu melanjutkan kalimatnya. Nafasnya sesak. Dia
terjatuh. Tidak kuat duduk. Tubuhnya mendadak kejang-kejang. Mulutnya terkatup
rapat. Nafasnya berhenti.
Dengan terbata-bata
Marni menceritakan kematian suaminya kepada Rita, tetangga depan rumahnya. Ada
nada sesal, tatkala ia menceritakan peristiwa yang telah menyebabkan Himawan
menghembuskan napas terakhirnya.
"Andaikata akan
begini jadinya...." Marni tak melanjutkan kalimatnya.
"Ya, sabar saja,
Mbak. Barangkali sudah menjadi suratan takdir."
"Masalahnya
bukan itu, Rita," Marni memotong kalimat Rita, "Almarhum masih
meninggalkan utang sama saudara-saudara saya. Ya, selama ini biaya rumah sakit
sudah tidak ditanggung kantor. Lha wong Mas Himawan sudah tidak kerja."
Rita masih diam. "Untungnya,
dulu saya juga kerja. Kalau tidak, mungkin utang almarhum bisa dua kali lipat
lebih. Selama ini saya yang menanggung biaya keluarga. Gaji suami selama ini
sudah habis buat biaya berobat. Di kantornya, Mas Himawan hanya mendapat ganti
sebagian dari biaya yang dikeluarkan. Itu pun tidak seberapa jika dibandingkan
dengan biaya yang harus kami tanggung selama ini. Sebab, tiap bulan Mas
Himawan, tidak bisa tidak, harus tetap berobat. Terlambat berobat, ia harus
dirawat," lanjutnya berapi-api. Rita tetap diam.
"Coba kalau saya
tidak pernah bekerja, apa tidak...." "Maaf," Rita memotong
kalimat yang belum usai dilontarkan Marni, "Perut saya sakit. Ingin buang
air."
Dengan tergopoh-gopoh
Rita pulang. Ia tidak ingin mendengar kalimat Marni selanjutnya. Kedatangan
Rita ke rumah Marni, malam itu, semula hendak menghibur sang tetangga yang
belum genap seminggu ditinggal suaminya. Namun, setelah mendengar ceritanya
Rita justru merasa muak. Bahkan kesal.
Yang disesalkan Mbak
Marni ternyata bukan karena kematian suaminya, tapi karena almarhum masih
meninggalkan utang, pikir Rita.***
0 komentar:
Posting Komentar